RUMAH UNTUK SEMUA
- Kategori Induk: PROPERTY & REFERENSI BISNIS
- Diperbarui: Senin, 26 Oktober 2015 08:53
- Ditayangkan: Jumat, 16 Januari 2015 22:05
- Ditulis oleh admin1
- Dilihat: 1839
- 16 Jan
Hunian, adalah sebuah kebutuhan dasar manusia yang hakiki. Sayangnya, tak semua orang dapat memilikinya.
Ada yang terkendala penghasilan, ada pula yang terhambat aturan pembiayaan perbankan seperti misalnya tak memiliki surat keterangan penghasilan akibat bekerja di sektor non formal. Padahal, harga properti selalu meningkat tiap tahun.
DIHARAPKAN, pemerintah dapat membuat bench mark agar batasan range kenaikan harga properti jadi jelas. Selama ini, belum ada standar tentang harga properti yang wajar. Sebagaimana suku bunga, harga sewa maupun nilai jual properti senantiasa mengikuti situasi pasar – selain tergantung supply and demand, juga mengacu pada harga primary unit yang dilansir para pengembang pemilik land bank yang besar.
Bila ada standar yang jelas untuk batasan kenaikan harga, maka diharapkan harga properti antara kawasan satu dengan yang lain tidak terlalu timpang dan lebih reasonable. Calon konsumen jadi lebih mudah menentukan pilihan sesuai kebutuhan dan kemampuan finansial. Terlebih jika terjadi inflasi, yang mengurangi value mata uang. Dengan demikian, lebih banyak keluarga yang dapat memiliki hunian.Harus diingat, meski harganya selalu meningkat tiap tahun, namun properti bukanlah jenis investasi yang likuid. Karena itulah, konsumen harus jeli akan resiko, tingkat likuiditas properti yang dibidik, maupun expected return yang diharapkan sebelum membeli. Bukan hanya lokasi, lokasi, dan lokasi yang harus dipertimbangkan.Namun siapa dan bagaimana track record pengembang, kondisi riil proyek dan sertifikat unit, akses, fasilitas yang tersedia, serta potensi kenaikan harga properti di kawasan tersebut.Dengan demikian, pengorbanan yang dilakukan untuk dapat memiliki hunian idaman menjadi worthted.
Pembiayaan Syariah, Sebagai Solusi Alternatif
Membeli hunian secara mengangsur, merupakan alternatif pembiayaan yang popular. Fakta menunjukan, lebih dari 80 persen konsumen perumahan membeli properti dengan cara mengangsur. Masalahnya, bunga bank yang mengikuti situasi pasar kerap membuat kreditur mengalami masalah dan beresiko gagal bayar yang berakibat hunian yang diagunkan sebagai jaminan kredit beralih kepemilikan kepada lembaga pembiayaan.
Sebagai alternatif, pembiayaan syariah dapat menjadi bahan pertimbangan para calon konsumen. Cara pembiayaan ini menggunakan prinsip dimana konsumen dapat membeli properti yang sebelumnya telah dibeli terlebih dahulu oleh pihak bank dari pengembang. Konsumen dapat mengangsur pembayaran dalam jumlah angsuran tetap hingga lunas. Dengan demikian, ada kepastian tentang jumlah yang harus disetorkan setiap bulannya tanpa khawatir ada kenaikan angsuran akibat perubahan suku bunga. Ada pun cara pembiayaan model syariah, terbuka bagi semua kalangan. Tak harus muslim, namun dapat di ajukan oleh semua calon konsumen asalkan memenuhi persyaratan kredit yang ditentukan oleh pihak bank. Prinsip syariah sebagai solusi pembiayaan yang memberikan kepastian besaran angsuran bagi konsumen ini telah disosialisasikan oleh Bank Indonesia ( BI ) yang bersama beberapa lembaga pembiayaan dan lembaga pendidikan membentuk Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah ( PKES ) pada tahun 2003 lalu dan kini memiliki sekitar 67 anggota.“Kedepannya, diharapkan perbankan dapat lebih melayani para pekerja sektor non formal yang sebenarnya potensial karena berjumlah cukup besar. Terlebih bila para pekerja sektor tersebut seperti misalnya para pedagang di pasar tradisional memiliki asosiasi yang dapat membantu penagihan kolektif secara harian“, himbau Ismi Kushartanto, selaku Direktur Eksekutif PKES.
Berharap Keberpihakan Pemerintah
Saat ini, suplai hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah memang masih terbatas. Idealnya, sebuah kawasan hunian dibangun dengan komposisi 5 rumah sederhana, 3 rumah kelas menengah, dan sebuah rumah premium. Namun tak semua pengembang bersedia membangun Rumah Sederhana Sehat ( RSH ) dalam kawasan yang dikembangkan. Alasannya, marjin RSH sangat tipis, tak seimbang dengan investasi yang dikucurkan dan biaya operasional yang dikeluarkan mulai dari perijinan, pembangunan proyek hingga pemasarannya.Padahal, kalangan perbankan justru menilai pembiayaan RSH lebih secure. Logikanya, first home adalah sebuah properti yang didambakan semua orang - untuk ditempati dan sebagai tabungan masa depan. Sayangnya, banyak hunian bersubsidi yang salah sasaran. Banyak unit yang di DP oleh para pemburu rente, yang kemudian mengangsur pembayaran dari hasil yield atas sewa unit oleh mereka yang justru lebih berhak. Karena itu, BI sempat mengeluarkan aturan LTV policy guna membatasi ruang gerak para investor tipe ini.
Di sisi lain, Kementrian Pekerjaan Umum terus berusaha merangkul para pelaku sektor konstruksi guna mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri, sejalan dengan Masterplan Percepatan Perluasan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia ( MP3EI ), serta menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN ( MEA ) yang akan diterapkan tahun 2015 di Indonesia. Dengan adanya regulasi dan insentif, diharapkan, para pelaku bisnis konstruksi nasional dapat lebih meningkatkan daya saing sehingga kualitas pengerjaan bangunan makin baik namun harga properti dapat lebih terjangkau oleh berbagai lapisan masyarakat.“Pemerintah harus jeli dalam membuat regulasi. Aturan yang dibuat harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara seimbang dan dapat mendorong kepentingan makro yang lebih besar“, ujar Ir. Ignesjz Kemalawarta - Wakil Ketua DPP REI, saat menjelaskan tentang kaidah regulasi dalam sebuah acara Financial Workshop di Jakarta.