WINA-The city of ‘Codes’
- Kategori Induk: LIFESTYLE & LEISURE
- Diperbarui: Senin, 26 Oktober 2015 08:53
- Ditayangkan: Rabu, 22 April 2009 17:28
- Ditulis oleh admin1
- Dilihat: 3425
- 22 Apr
Tujuan yang sebenarnya adalah menjadikannya sebagai kota persinggahan sehabis menyaksikan acara carnival tahunan yang meriah di Venesia - Italia sebelum melanjutkannya ke Budapest – ibukota Hongaria yang letaknya tepat bertetanggaan dengan Austria. Disamping itu, memang ada sedikit rasa kangen yang mesti saya tebus terhadap Viennese Java Coffee yang beraroma khas plus beberapa potong real Austrian pretzel yang cita rasanya berbeda dengan kue sejenis buatan Jerman.
Karena itu, begitu selesai check-in pada sebuah hotel kecil yang berdekatan dengan istana Habsburg di jantung keramaian Wina, saya bergegas mencari sebuah coffee shop terdekat untuk melampiaskan kerinduan saya pada kedua hal tadi.
Meski sempat beberapa kali berkunjung di kota yang letaknya hanya 20 kilometer dari perbatasan Hongaria ini, saya tetap merasa ‘tidak terlalu akrab’ dengan Wina. Beberapa rombongan turis yang sempat saya escort ke kota ini hanya mengunjungi tempat-tempat wisata umum yang telah dijadwalkan oleh biro perjalanan seperti Schönbrunn Palace, Wurstelprater, Habsburg Palace dengan Michaelerplatz-nya, ataupun pusat perbelanjaan terkenal Kohlmarkt. Selebihnya adalah pengetahuan tentang hal-hal umum bahwa di kota yang dialiri oleh Sungai Danube ini terletak berbagai kantor perwakilan organisasi dunia seperti PBB, IAEA dan OPEC; bahwa di kota ini beberapa nama komposer musik klasik seperti Mozart, Bach dan Beethoven pernah meniti karirnya hingga namanya terkenal sampai saat ini, serta keberadaan beberapa gedung opera megah bergaya klasik yang tersebar di berbagai penjuru kota terpadat di Austria yang berpenduduk hampir 2 juta jiwa ini.
Secangkir Viennese Java Coffee panas pesanan saya datang dalam sebuah nampan kecil berwarna perak dilengkapi sepotong biscuit dan segelas kecil creamer. Dengan membayar harga secangkir kopi yang berkisar pada EUR 2 – 7 (1 Euro = +/- Rp 12.000), kita bisa duduk berlama-lama sesuka hati di café yang kita inginkan. Karena itu, tak heran apabila di kebanyakan café di Wina (dan juga di kebanyakan kota lainnya di Eropa), sering dijumpai orang duduk di café selama berjam-jam dengan hanya membeli secangkir kopi sambil membaca koran atau buku.
Saya jadi teringat cerita tentang Franz Kolschitszky, agen rahasia Rusia yang bertugas memata-matai pihak Turki di abad ke-17, di mana dalam menjalankan tugasnya dia dibayar dengan menggunakan biji kopi, hal yang membuatnya berkeputusan untuk membuka sebuah ‘rumah minum kopi’ di pusat kota Wina sebagai kamuflase dari aktifitas rahasianya. Rumah minumnya tersebut kelak malah menjadi cikal-bakal hadirnya café di Austria.
Kiprah agen rahasia masa kini yang diyakini masih banyak berkeliaran di Wina paska era perang dingin, seringkali terselubung rapi karena para agen rahasia tersebut bertameng pada berbagai jenis pekerjaan ‘biasa’ sebagai aktifitas sehari-hari, mulai dari tukang semir sepatu, petugas pengantar surat, pelayan restoran, penjaga toko, hingga yang duduk di jajaran eksekutif perusahaan ternama.
Ketika merapikan rambut yang mulai memanjang tak keruan (akibat perjalanan selama 3 bulan penuh di beberapa negara di Eropa) pada sebuah salon, secara iseng saya bertanya pada Kurt, pemilik salon yang melayani saya saat itu tentang kebenaran issue masih banyaknya agen rahasia yang berkeliaran di Wina pada saat ini.
“Jangan lupa,” jawab Kurt sambil mengeringkan rambut saya yang habis dikeramas, “Wina adalah pintu gerbang ke Timur. Kota ini pernah dipergunakan oleh para agen rahasia sebagai markas.” Dia memelankan suaranya sambil melihat sekeliling, sepertinya takut jika pembicaraan kami didengar orang lain. “Jika Anda bertanya pada saya tentang keberadaan mereka saat ini…. I believe they still are.”
Ketika itu masuklah seorang laki-laki muda berambut pirang dengan dandanan perlente, duduk tepat di kursi sebelah kiri saya. Kami sempat bercakap-cakap sebentar. Laki-laki tersebut berbicara dalam logat Inggris – English yang kental, dan mengaku bekerja pada ‘Departemen Luar Angkasa’ pada Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkantor di Wina.
Saat mengantar saya berjalan keluar dari salonnya, Kurt sempat berbisik pada saya: “He’s a spy. I cut his hair every month. So I know something about him.”
Saya berjalan menuju Kärntner Strasse, tempat yang dikhususkan bagi para pejalan kaki di mana terdapat beberapa museum utama kota Wina seperti Naturhistoriches Museum dan Kunsthistorisches Museum serta salah satu gedung opera paling populer seantero Eropa: Staatoper. Entah apa karena sugesti tentang issue keberadaan para agen rahasia sudah telanjur merasuki hati, yang jelas saya merasakan bahwa di tempat yang menjadi tujuan utama kunjungan para turis ini, suasana spooky terasa kuat sekali. Tempat ini seakan dipenuhi oleh kode-kode rahasia. Salah satunya…. kode etik dalam berbusana.
“You can’t get in,” hardik seorang laki-laki tinggi besar berseragam merah tua dan bertopi hitam di depan salah satu hotel rujukan para petinggi dan selebritis dunia, Hotel Sacher, yang letaknya berseberangan dengan Staatoper. Di hotel yang senantiasa mengibarkan bendera dari berbagai negara di bagian depan bangunannya ini, sering terjadi perhelatan politik penting, sekaligus surga bagi perselingkuhan selebritis dan tokoh-tokoh terkenal dunia lainnya. Bahkan, semasa hidupnya diktator Jerman –Adolf Hitler – adalah salah satu pelanggan tetap hotel yang didirikan oleh Eduard Sacher pada 1876 ini.
“I just want to see the bar,” kilah saya sambil berusaha masuk. Lelaki berseragam tadi menghalangi langkah saya.
“You can’t come in the dress like….”, dia
berhenti sejenak sambil meliah
‘tongkrongan’ saya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Like this.”
Rasanya sakit hati sekali ditolak masuk ke sebuah hotel hanya karena saya berpakaian casual –sweater plus jeans dan sepatu kets. Padahal sudah cukup lama saya memendam keinginan untuk melihat foto-foto para tokoh terkenal yang pernah berkunjung ke sana yang foto beserta tanda tangannya dipajang pada dinding bar.
Saya akan kembali nanti malam, begitu tekad saya sambil berjalan menjauhi bangunan Hotel Sacher yang terletak di Philharmoniker Strasse, yang tampak angkuh di tengah-tengah kerumunan berbagai bangunan bersejarah lainnya. Rata-rata lantai dasar dari bangunan-bangunan kuno yang berjajar di sepanjang jalan ini dijadikan toko yang menjual barang fashion kelas atas. Jika saya masuk ke salah satu dari toko-toko ini dan membeli satu set pakaian haute-couture yang dijual di sana, lantas kembali lagi ke Hotel Sacher, saya yakin petugas penjaga pintu tadi akan berubah sikap. Namun tentu saja ide itu hanya ada di kepala saya, karena saya merasa kantong saya tidak akan mampu membeli barang-barang yang dijual di sini. Jangankan barang-barang fashion yang harganya mencapai ribuan Euro, melihat sebuah bros berbentuk miniatur biola berlapis emas di sebuah etalase toko yang dibuat secara handmade, saya sempat terbelalak. 990 Euro!
Lantaran sudah lewat tengah hari, saya kemudian memutuskan untuk mencari sesuatu untuk mengisi perut. Tujuan saya jelas. Rosenberger! Sebuah restoran dengan bangunan bergaya Victoria yang terletak di Maysedergasse – masih satu area dengan Kärntner Strasse – yang menyediakan sekitar 50 jenis makanan a la buffet mulai dari makanan pembuka, makanan utama hingga makanan penutup dengan harga 23 Euro/orang. Di restoran yang senantiasa penuh sesak ini, saya terpaksa berbagi meja dengan dua orang pria bule yang sepanjang waktu terlibat dalam pembicaraan serius. Sesekali mereka melirik ke arah saya, seakan curiga bahwa saya mencuri dengar pembicaraan mereka yang dilakukan dengan berselang-seling menggunakan beberapa bahasa sekaligus. Kepala saya yang masih dipenuhi oleh hal-hal seputar spionase seketika mendapat ‘ilham’, bukan tidak mungkin kedua orang ini adalah agen rahasia yang saling bertukar informasi. Lihat saja kemampuan mereka dalam berkomunikasi multi bahasa, bukankah hal ini termasuk dalam salah satu kemampuan mereka? Saya jadi teringat film serial TV berjudul Alias yang dibintangi oleh Jennifer Gartner, yang menunjukkan kepiawaiannya dalam menguasai berbagai bahasa asing demi menjalankan tugasnya sebagai seorang agen rahasia. Saya jadi mahrum mengapa mereka memilih duduk semeja dengan saya, seorang ‘typical Asian tourist-like’ daripada berbagi meja dengan orang-orang bule lainnya yang ada di restoran ini? Agar pembicaraan rahasia mereka aman dari telinga orang-orang yang seprofesi dengan mereka yang mungkin saja juga ada di tempat ini?
Kami sempat bertegur sapa sejenak ketika tanpa sengaja (atau mungkin juga – sengaja) salah satu dari mereka menumpahkan minumannya ke tempat saya saat hendak berdiri. Sweater dan celana saya basah terkena tumpahan minuman. Mereka meminta maaf dan sekedar berbasa-basi menanyakan saya berasal dari mana? Ketika saya jawab bahwa saya dari Indonesia, mereka tampak terkejut bercampur lega.
“I though you are Japanese or Korean,” ujar pria yang menumpahkan minumannya, yang duduk bersebelahan dengan saya.
“Is it your first time visiting Vienna?” tanya pria yang satunya lagi, yang duduk di seberang meja.
“No, it’s my fourth or fifth, I’m not sure about it,” jawab saya.
Lawan bicara saya mengernyitkan dahinya.”For business or leisure?”
“Both. I’m a tour leader”, jawab saya lagi. “And you, where are you from?”
“I’m from Spain and he’s from Finland,” jawab pria yang duduk di sebelah saya.
“Do you work here or….?”, tanya saya memancing.
“We both work for United Nations”.
“Ehm… in ‘Outer Space Department’?” terka saya sekenanya.
Mereka berdua tampak terkejut.
“How do you know?” Tanya pria yang duduk di seberang saya.
“Just guessing. Are you spies?” tanya saya straight to the point, ingin memancing reaksi mereka selanjutnya.
Suasana sempat senyap selama sedetik, sebelum salah satu dari mereka berusaha mencairkan suasana dengan tertawa terbahak. “Us?! You’re joking.” Suasana kembali senyap, tapi saya sempat melihat sekilas pria di depan saya mengerdipkan sebelah matanya pada rekannya yang duduk di sebelah saya. Sebuah kode untuk mengakhiri pembicaraan?
“Well, we have to go. Nice meeting you,” ujar pria di sebelah saya sambil berdiri diikuti oleh temannya. Sejurus kemudian, mereka sudah keluar dari restoran dan berjalan berpencar. Dalam sekejap, mereka sudah menghilang dari pandangan saya.
Saya tersenyum sendiri. A good spy wouldn’t admit his real profession.
Perut saya terasa penuh lantaran bolak-balik mengambil makanan (nggak mau rugi nih, sudah bayar mahal) dan saya memutuskan untuk kembali ke hotel, berganti baju dengan pakaian yang lebih ‘pantas’ agar bisa diizinkan masuk oleh penjaga di pintu Hotel Sacher. Saya merasa wajar untuk terobsesi berkunjung ke bar hotel bergengsi tersebut lantaran dalam setiap kesempatan kunjungan saya ke Wina, saya selalu tidak sempat mampir ke sana. Kali ini harus bisa, sekalian kan ada alasan buat saya untuk berganti baju, begitu tekad saya.
Ketika di kamar hotel, sambil menunggu matahari terbenam sebelum melangkahkan kaki kembali ke Hotel Sacher, saya melakukan kebiasaan saya ‘meneliti’ isi kamar hotel yang saya tempati. Bukannya kuatir kalau ada lubang rahasia yang biasa dipakai oleh pihak intelijen untuk memata-matai seseorang, tetapi saya pernah beruntung menemukan satu lembar (lecek) uang pecahan 100 Poundsterling di balik matras tempat tidur pada sebuah hotel di Paris beberapa waktu yang lalu. Yang namanya uang (apalagi Poundsterling) dalam kondisi apapun tetap bernilai, kan? Nah, siapa tahu kali ini saya bisa menemukan sesuatu juga?
Saya memang tidak menemukan apapun di balik matras tempat tidur saya, tetapi di ujung dalam salah satu laci dari meja yang terletak di sudut kamar, saya menemukan secarik kertas lusuh yang bertuliskan: Tee-house creed in the shadow, and wine for 2 wasn’t enough when 5 were coming.
Is it another code of secret? Maybe it is.