MARRAKESH OASIS GERBANG SAHARA
- Kategori Induk: LIFESTYLE & LEISURE
- Diperbarui: Senin, 26 Oktober 2015 08:53
- Ditayangkan: Minggu, 08 Februari 2009 23:12
- Ditulis oleh Administrator
- Dilihat: 7310
- 08 Feb
Pemandangan Gurun Sahara, sebuah gurun pasir terluas di benua Afrika (atau mungkin juga di dunia) —masih dapat dinikmati saat menuju kota Marrakesh yang hanya berjarak 6 kilometer dari bandara Menara. Kali ini pemandangan itu berselang-seling dengan deretan pepohonan palem dan juga dinding-dinding rumah yang berjejer-jejer di sepanjang jalan. Keberadaan pohon-pohon palem di tengah-tengah hamparan gurun pasir memberikan kesejukan tersendiri, apalagi ketika ditambah dengan sepoi angin di tengah suasana terik..... layaknya sebuah oasis di tengah padang pasir. Sementara di kejauhan, sebuah keajaiban alam nan luar biasa terlihat sangat mengagumkan tatkala melihat pegunungan Atlas yang pada bagian puncaknya ditutupi salju abadi berdiri menjulang dengan anggunnya. What a such contrast combination? Padang pasir dan gunung salju?!
Kota Marrakesh yang dikelilingi tembok dari tanah liat berwarna kemerahan ini, didirikan pada tahun 1062 oleh Youssef bin Tachfine dari dinasti Almoravide. Tujuan didirikannya tembok mengelilingi kota pada saat itu adalah untuk melindungi diri dari serangan kaum perampok yang dikenal memiliki gaya hidup nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya setelah meghabiskan harta benda para penduduk lokal.
Dengan mendatangkan arsitek dan ahli bangunan dari Cordoba – Spanyol (yang merupakan negara tetangga Marroko di bagian utara, yang secara geografis dipisahkan oleh Selat Gibraltar) yang sangat terkenal di masa lalu untuk membangun sejumlah istana, rumah pemandian a la Romawi, masjid dan saluran air bawah tanah, kota ini senantiasa mengalami pembangunan yang tak henti-hentinya, sehingga wajar jika saat ini Marrakesh dikenal sebagai salah satu dari ‘four imperial cities of Marroco’ disamping Meknes, Fez dan Rabat.
Kota yang di masa lampau merupakan tempat asal mula bangsa Moorish ini – yang dari namanya kemudian menjadi nama kota Moorrakech (atau yang dikenal saat ini sebagai Marrakesh) sekaligus juga menjadi asal muasal nama negara yang dikenal dengan sebutan: Marroko—terbagi atas dua bagian, kota tua dan kota moderen. Kota moderen Marrakesh yang terletak di luar ‘tembok tanah liat’ dipenuhi oleh bangunan bergaya moderen dan jalanan beraspal. Sejumlah hotel berbintang milik perusahaan internasional banyak didirikan di sana.
Sementara kota tua yang dikenal dengan sebutan Medina, berpusat pada sebuah lapangan luas (kalau di Indonesia dikenal sebagai alun-alun) bernama Djemaa el Fna Square atau dapat diartikan sebagai ‘lapangan kematian’. Tempat ini pada masa lalu memang sering digunakan sebagai ajang eksekusi terhadap para penjahat yang dijatuhi hukuman mati, di mana kemudian mayatnya digantung untuk dijadikan tontonan sekaligus peringatan bagi masyarakat sekitar.
Meski memiliki sejarah kelam sebagai tempat pembantaian, saat ini keberadaan Djemaa el Fna jauh dari kesan menyeramkan. Yang Justru terasa adalah kesan sedang berada di tengah-tengah hiruk pikuk situasi pembuatan film dengan setting 1001 malam di mana terlihat sebagian besar bangunan dibuat dengan perpaduan unsur Romawi plus Mediterania dengan pengaruh aksen Islam yang kental, sementara banyak sekali orang yang menyesaki tempat itu dengan berpakaian gaya ‘Arabian’.
Bagi mereka yang pertama kali berkunjung ke tempat ini, terutama bagi para pelancong Eropa dan Amerika yang terbiasa dengan situasi serba tertib dan teratur, ditanggung bakal pusing tujuh keliling dengan situasi serba semrawut yang terhampar pada sebuah lapangan luas. Beragam stand pedagang kaki lima (yang dalam bahasa lokal disebut dengan souks) tersebar di mana-mana hingga hanya menyisakan jalan nan sempit dan berkelok-kelok tak beraturan bagi para pengunjung. Pengunjung harus rela berdesak-desakan (plus bermandi keringat) sekaligus juga harus siap sedia untuk tersesat di tengah-tengah banyaknya ‘jalan tikus’ yang ada di sana.
Namun justru situasi seperti inilah yang menjadi magnet dari Djemaa el Fna sehingga sanggup menyedot perhatian rombongan turis yang sedang berkunjung ke Marrakesh. Banyak yang bilang, seseorang dianggap belum ke Marrakesh apabila belum pernah tersesat di Djemaa el Fna. Karena itu, sebelum memasuki areal Djemaa el Fna, banyak dijumpai penduduk lokal yang menawarkan diri menjadi pemandu bagi para turis yang ingin berkunjung ke tempat ini.
Di tempat yang hampir tidak pernah sepi pengunjung baik siang ataupun malam ini, hampir semuanya ada! Mulai dari kios dan depot-depot penjual penganan khas Marroko seperti tajines, harira, pastilla, shoarma; penjual aneka suvenir dan barang kerajinan dari kain, rotan, wool, dan kulit domba, rusa, sapi maupun kulit ular dan kulit buaya; berbagai jenis karpet khas Timur Tengah, bumbu-bumbu dapur hingga beraneka zat pewarna kain, sampai beragam atraksi unik seperti tarian ular kobra dengan tiupan seruling (mirip seperti yang dilakukan oleh orang India), rombongan sirkus ‘mini’ seperti layaknya pertunjukan topeng monyet di Indonesia, sajian tari perut a la Turki yang ada di beberapa cafe, sampai pertandingan tinju anak-anak yang banyak menarik minat penonton untuk bertaruh, atau bahkan berbagai stand peramal nasib a la orang gypsi yang tersebar di berbagai tempat.
Landmark lain yang menjadi icon terpenting dari kota ini adalah Masjid Koutoubia. Masjid yang terletak diantara jalanan sempit ini sekaligus dikenal sebagai ‘masjid pasar buku’ lantaran di daerah sekitarnya banyak dipenuhi oleh para penjual buku bekas yang menggelar dagangannya di jalan-jalan.
Masjid yang terbuat dari susunan bata merah ini dibangun pertama kali pada tahun 1147, namun tak lama kemudian dirobohkan karena ternyata letaknya tidak sesuai dengan arah kiblat sebelum dibangun kembali pada tahun 1199. Dengan disangga oleh 112 pilar di dalamnya, masjid tertua di Marrakesh ini sanggup menampung lebih dari dua ribu orang sekaligus, sebuah jumlah yang sangat besar untuk sebuah bangunan yang dibangun pada masa itu. Yang menjadi daya tarik utama dari masjid ini adalah bagian podium yang berhiaskan ukiran kaligrafi hand-made, yang konon dihadiahkan oleh Sultan Ali bin Youssef dari dinasti Almoravide. Usia podium pada masjid ini diperkirakan telah mencapai 800 tahun lebih tanpa pernah mendapat sentuhan restorasi.
Menara Masjid Koutoubia adalah bangunan tertinggi yang ada di Marrakesh. Dengan ketinggian 69 meter, menara ini memiliki 6 ruangan yang tersusun ke atas yang kesemuanya dihubungkan dengan anak tangga yang terbuat dari batu bata. Dari atas menara masjid ini, dapat terlihat pemandangan kota Marrakesh yang bermandikan cahaya lampu di waktu senja, sekaligus pemandangan Gurun Sahara yang terlihat berwarna oranye kemerahan.
Area di sekitar Masjid Koutoubia merupakan tempat ‘hang-out’ favorit di saat matahari terbenam. Cafe dan restoran di daerah tersebut yang memadukan berbagai unsur budaya berbagai negara senantiasa dipenuhi oleh pengunjung, baik itu penduduk lokal maupun turis asing. Suara hingar bingar musik bernuansa irama padang pasir dalam sentuhan ‘techno’ terdengar di mana-mana, menambah kemeriahan suasana di malam hari. Saking banyaknya restoran maupun kedai kaki lima yang menjual hasil olahan dari daging yang dibakar, pemandangan penuh asap merupakan hal yang biasa terlihat di mana-mana, seperti layaknya sebuah pesta barbeque berskala besar.
Marrakesh memang adalah sebuah sebuah museum ‘hidup’ yang patut dinikmati, di mana kekayaan budaya bangsa Moorish yang menjadi cikal-bakal bangsa ini tetap dipertahankan dan terpelihara dengan baik hingga saat ini meski sempat harus bersaing dengan pengaruh bangsa Prancis, Spanyol maupun Jerman yang secara bergantian pernah menduduki wilayah ini berpuluh-puluh tahun lamanya.