Berharap Kebijakan Menyeluruh
- Kategori Induk: PROPERTY & REFERENSI BISNIS
- Diperbarui: Senin, 26 Oktober 2015 08:53
- Ditayangkan: Sabtu, 21 Maret 2009 23:26
- Ditulis oleh admin1
- Dilihat: 2769
- 21 Mar
Pengembang kelas menengah di Indonesia saat ini tengah bernafas lega. Pasalnya, pemerintah telah menetapkan penurunan PPh final dari 5 persen menjadi hanya 1 persen. Pengembang dan pengusaha di sector property sebetulnya sudah mengusulkan aturan PPh final atas rumah susun sederhana milik (rusunami) dan RSh sejak tahun 2007 lalu. Pengembang semula berharap aturan itu sudah ditetapkan mulai awal tahun 2008. namun pemerintah empunyai pandangan lain.
Hingga saat ini, penetapan Pajak Penghasilan final bagi pengembang Rusunami dan RSH menjadi 1 persen diharapkan dapat merangsang kembali proyek-proyek perumahan bersubsidi yang selama ini sempat tersendat .
Ketua Real Estate Indonesia (DPP REI) Teguh Satria mengatakan, hanya RSH dan rusunami yang diturunkan PPh nya “Diluar itu, peraturan tetap berlaku semula. Artinya proyek diluar Rusunami dan RSH tetap dikenakan PPh 5 persen dari harga jual. Dirjend Pajak sudah sepakat, angkanya sudah final, tapi penerapannya masih menunggu peraturan pemerintah.
Langkah ini menurut Teguh diambil guna meminimalisir berbagai tindak kolusi yang sering dialami oleh rekan-rekan pengembang. Jika PPh harga jual di tetapkan sebesar 1 persen, sedikitnya
Rp 5 triliun akan diraup negara. REI mengharapkan PP PPh properti yang baru terbit Maret 2009. Saat ini PPh property masih berlaku sebesar 30 persen dari total laba bersih perusahaan.
Masih menurut Teguh, PPh berdasarkan harga penjualan lebih efektif ketimbang berdasarkan laba bersih. Jika berdasarkan laba bersih, menurut dia, maka pengusaha dan petugas pajak memiliki kesempatan berkolusi mengurangi nilai pajak. REI tetap meminta pemerintah menaikkan harga jual rusunami dari maksimal Rp 144 juta per unit menjadi maksimal Rp 180 juta per unit. Alasannya, biaya produksi meningkat.
Kepala Subdirektorat Peraturan Pajak Penghasilan (PPh), Pemotongan, Pemungutan dan PPh Orang Pribadi Direktorat Jenderal Pajak, Dasto Ledyanto, sistem baru perhitungan pajak itu telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2008 tertanggal 4November 2008.
“Ketentuan PPh final berlaku mulai 1 Januari 2009. Aturan itu diharapkan mampu menggairahkan pembangunan perumahan rakyat dan mendorong masyarakat berpenghasilan rendah untuk dapat memiliki rumah,” katanya.
Bila menilik peraturan yang ada, berdasarkan dari PP PP No 71/2008 merupakan perubahan ketiga atas PP No 48/1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Nah berdasarkan PP tersebut, maka nilai PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditetapkan sebesar 5 persen dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Sementara itu, Deputi Perumahan Formal Kementerian Negara Perumahan Rakyat Zulfi Syarif Koto mengemukakan, penetapan PPh final diharapkan dapat mempercepat penyerapan rumah sederhana sehat (RSh) karena penjualan produk rusuna dan RSh hanya dipotong pajak 1 persen.
Sekurangnya, penetapan PPh final itu meringankan pengembang dalam membangun rusuna dan RSh di tengah ketatnya likuiditas dan krisis ekonomi global. Pengembang tidak perlu dipusingkan lagi oleh pemeriksaan pajak. Pemerintah juga diuntungkan karena ada kepastian untuk pemasukan pajak.
Hal senada dikemukakan Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Fuad Zakaria. Penurunan PPh itu sebagaipencerahan yang dapat meringankan beban pengembang di tengah berbagai kendala pembangunan rumah bersubsidi di Indonesia.
Namun menurut Fuad, masih banyak kendala ang dihadapi pengembang rumah bersubsidi. Kendala itu, antara lain, adalah tingginya biaya produksi, meliputi bahan bangunan, listrik, maupun proses perizinan yang berbelit. “Jadi kalau bias jangan Cuma menurunkan PPh sebesar 1 persen saja, tapi kendala lain juga bias di atasi,”katanya.
Menunggu Tuntutan Pasar
Menteri Negara Perumahan Rakyat Yusuf Asy’ary mengatakan, pemerintah akan membentuk tim antardepartemen dan pemangku kepentingan guna mengkaji usulan pengembang untuk segera menaikkan harga jual rusunami. Padahal, dari pantauan dilapangan, sudah banyak pengembang yang tidak mengikuti aturan harga jual yang ditetapkan pemerintah sejak awal.
Contohnya yang terjadi di Rusunami. Dengan mengambil tema hunian bersubsidi pemerintah, tak semua unit yang dipasarkan mematuhi jalur tersebut. Namun ada pula yang menapak dijalur yang di tetapkan pemerintah. Contohnya Rusun City Park di cengkareng. Menurut penuturan Direktur Utama PT Reka Rumanda Agung Abadi, pengebang Rusun City Park, pihaknya tetap mematuhi aturan dari pemerintah. “Mengenai harga jual kami tetap pada aturan yang berlaku dari pemerintah. Meski di lain lokasi sudah menerapkan harga baru karena imbas dari kenaikan BBM lalu, itu sah-sah saja tapi kami tidak. Bahkan seluruh unit disini menggunakan harga lama,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Teguh Satria. Ia menilai sebagian pengembang masih berkomitmen menawarkan harga jual rusunami Rp 144 juta per unit. “Tidak semua pengembang mengusulkan kenaikan harga rusunami. Pemerintah harus mempertimbangkan semua kepentingan, baik kepentingan rakyat yang membutuhkan rumah maupun pengembang,” katanya. Pemerintah akan menurunkan Pajak penghasilan (PPH) untuk pengembangan properti. Dengan asumsi harga jual properti akan lebih murah.
Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Darmin Nasution PPH pengembangan properti paling besar untuk rumah biasa dikenakan sebesar 5 persen, dan untuk Rumah Sederhana Sehat (RSH) akan dikenakan PPH 1 persen. PPH ini akan dihitung berdasarkan omset dan akan dibebankan kepada developer.
PPH Pengembangan Properti ini untuk memudahkan karena selama ini biaya untuk membangun rumah, pengembangunan rumah, dan pembangunan gedung selalu menuai perdebatan mengenai fakturnya dan sebagainya. “Sehingga tinggal omsetnya diketahui berapa dan akan ditetapkan PPH nya berapa,” kata Darmin.
PPH ini, menurut Darmin, nilainya lebih kecil dibanding mekanisme sebelumnya. “Kalau dulu penerimaan di kali 30 persen, jadi sistem ini lebih murah,” ujarnya.
Darmin menyakini, penerapan PPH ini tidak akan mengurangi penerimaan pajak bahkan akan lebih baik. Penerimaan pajak dari PPH pengembangan properti tergantung dari tingkat penyerapan pasar dan kondisi jasa konstruksi.
Ia membandingkan industri properti tahun lalu terbilang bagus. Meskipun mengalami penurunan, tahun 2008 ini juga masih dalam taraf mengesankan. Untuk proyeksi tahun 2009 mendatang, Darmin mengatakan pihaknya telah meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memeriksa jasa konstruksi. “Mereka sedang jalan. Itu sekaligus mengecek kebenaran,” ujar Darmin.
Mungkin pengembang perumahan bersubsidi masih terkendala dari jasa konstruksinya. Perusahaan jasa konstruksi tetap bertahan dari nilai eskalasi yang tidak bisa di turunkan kembali, mengingat kenaikan semua biaya pembangunan. Sekali lagi pengembang mengunggu tindak lanjut dari pemerintah dalam hal ini Kemenpera untuk dapat menetapkan juga biaya pembangunan yang melangit.
Jadi, apapun dilakukan pemerintah untuk membuat bisnis properti tanah air tetap bergairah. Salah satu contohnya dengan menurunkan PPh tadi. Memang pengembang berharap dengan penurunan PPh itu akan menggairahkan kembali bisnis mereka meski masih terseok-seok. Hanya saja, pengembang juga harus memilah mana yang menjadi prioritas saat menjalankan bisnis. Sehingga pembangunan proyek rumah bersubsidi sudah tidak ada alasan lagi bagi pengebang untuk menunda pembangunan proyeknya. Tinggal bagaimana pintar-pintarnya konsumen untuk memilih dan menentukan pilihan.