Menanti Konsep Ideal - HUNIAN BERIMBANG

         Apa solusinya kepada pemerintah, jika Anda termasuk masyarakat berpenghasilan rendah yang belum memiliki rumah?. Betulkah, bahwa kesenjangan antara pasokan dan permintaan rumah, menandakan belum setaranya pola pembangunan hunian di negeri ini?

   Secara keseluruhan belum terpenuhi!. Begitulah opini yang muncul saat kita menilai sekelumit persoalan, yang membelit sektor perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di negeri ini. Lihat saja, setiap tahun kebutuhan papan ini terus meningkat sejalan dengan populasi penduduk yang tak pernah henti. Sementara pasokan selalu lebih mini dibanding permintaan (backlog) itu sendiri yang kini sudah mencapai 8,2 juta unit. Lantas, apa upaya yang harus dilakukan untuk mengatasinya? Saat kini, segudang saran dilayangkan beberapa pengamat, praktisi sampai Kementrian Perumahan sendiri. Misalnya, dengan menyusun kembali pola hunian berimbang yang lebih menfokuskan pada pembangunan rumah sederhana Apa solusinya kepada pemerintah, jika Anda termasuk masyarakat berpenghasilan rendah yang belum memiliki rumah?. Betulkah, bahwa kesenjangan antara pasokan dan permintaan rumah, menandakan belum setaranya pola pembangunan hunian di negeri ini? Menanti Konsep Ideal HUNIAN BERIMBANG dibanding rumah menengah dan mewah. Ambil contoh, tentang penerapan perbandingan pola 6:3:1 yang lebih mengutamakan pembangunan enam unit rumah sederhana, tiga unit rumah menengah dan satu unit rumah mewah. Sehingga, kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah bisa terwujud. “Pola hunian berimbang ini dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dengan demikian target pengembangan perumahan sederhana dapat terwujud,” kata Rudy Hernanto Nandar, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian Perumahan Rakyat.


Konsep Ideal Hunian Berimbang
  Sejatinya, bagaimana konsep ideal hunian berimbang untuk mewujudkan pengembangan perumahan bagimasyarakat berpenghasilan rendah?. Menurut Rudy, konsep ideal hunian berimbang pada hakikatnya adalah menciptakan lingkungan yang dapat menampung secara serasi berbagai kelompok masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan rumah. Dan penerapannya, harus disesuaikan dengan kondisi luas lahan, tata kota dan tipe bangunan di setiap daerah. “Itu sudah menjadi amanat UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) Nomor 1 tahun 2011,” kata dia. Untuk itu, harus ada evaluasi terhadap ketentuan pembangunan rumah sederhana, yang akan dibangun terlebih dahulu hingga selesai, sebelum membangun rumah menengah dan mewah yang terkait dengan strategi pemasaran kawasan perumahan pengembang,” ujarnya. Sementara latar belakang penerapan hunian berimbang adalah untuk mengurangi kesenjangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin di suatu hunian. “Jadi, pengembang harus segera mengubah pola pembangunan hunian berimbang dari konsep 1:3:6 menjadi 6:3:1,” ungkap Menteri Perumahan Rakyat Soeharso Monoarfa. Menurut Soeharso, konsep hunian berimbang bisa diterapkan dengan memadukan konsep desain properti hijau. Sehingga, satu rumah mewah seharusnya dapat memberikan kontribusi yang efektif, untuk  ruang terbuka hijau lebih luas karena lahannya lebih luas. Sedangkan kontribusi rumah menengah, setengah dari lahan dan rumah sederhana, lahannya hanya untuk bangunan. “Ini akan membuka ruang pernapasan wilayah tersebut. Sehingga, berimbang dan mengefisiensikan lahan, agar kawasan lindung tidak tergerogoti oleh kawasan sumber daya yang dapat dibangun perumahan,” paparnya. Dan konsep hunian berimbang ini juga akan bisa diterapkan untuk rumah susun atau apartemen. Misalnya, dalam satu kawasan, ada apartemen besar, menengah hingga sederhana.


Back Up & Insentif
   Lalu, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab mengatasi pola hunian berimbang ini? Ali Wongso Sinaga, Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Golkar mengatakan, negara harus punya peranan penting untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat. Sebab, peran intervensi negara dibutuhkan untuk pemberdayaan rakyat. “Misalnya, pemerintah perlu memperjelas berapa target penyediaan hunian bagi MBR. Sementara kebijakan hunian berimbang sudah diatur, namun tidak boleh menjadi andalan utama dalam mengatasi backlog perumahan. “Jadi, sifatnya  hanya back up”. Intervensi itu dapat dilakukan dengan dua jalur, yakni langsung oleh pemerintah dan melalui pihak swasta atau pengembang. “Intervensi negara diperlukan agar MBR bisa  mendapatkan hunian yang layak dan terjangkau,” jelasnya. Namun bukan berarti konsep ini tak mengalami kendala di lapangan. Makanya, pemerintahpun harus mampu menyediakan beberapa paket insentif untuk pengembangan lingkungan hunian berimbang. “Jadi, jangan hanya penerapan sanksi saja jika tidak mengikuti aturan kepada pengembang. Jika, pemerintah tidak intervensi, saya yakin itu tidak akan berhasil,” tukas Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Setyo Maharso. Jadi, mari kita tunggu apakah peran pemerintah sungguh-sungguh terhadap kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah ini.

 

Hakekat Konsep Ideal Hunian Berimbang :

• Terciptanya lingkungan hunian yang dapat menampung secara serasi berbagai kelompok masyarakat dan masyarakat yang kurang mampu (subsidi silang) dalam pemenuhan kebutuhan rumah.
• Terdapat dasar hukum yang jelas dalam rangka penerapan LHB
a) Defenisi/ ketentuan tentang rumah sederhana yang dikaitkan degan defenisi rumah umum sesuai UU No 1 tahun 2011.
b) Insentif pemerintah dan/ atau pemda untuk badan hukum pembangunan perumahan yang membangun dengan hunian berimbang.
c) Apabila pembangunan perumahan dengan LHB tidak berada dalam satu hamparan, dikaitkan dengan tujuan agar tercipta lingkungan hunian yang dapat menampung secara serasi berbagai kelompok dan adanya subsidi silang antara yang kaya dan miskin.
d) Bagi provinsi-provinsi dimana kota-kota besarnya mempunyai permasalahan dalam penyediaan lahan di perkotaan, akan dimungkinkan bahwa pembangunan rumah sejahtera tapak adalah masih dalam satu provinsi tidak perlu harus di dalam kota.
e) Khusus untuk DKI karena keterbatasan lahan, dimungkinkan pengembang rumah mewah mengembangkan rumah sederhana di Bodetabek.
f) Perlu evaluasi terhadap ketentuan tentang pembangunan rumah sederhana, yang akan dibangun terlebih dahulu sampai selesai sebelum membangun rumah menengah dan mewah (dikaitkan dengan strategi pemasaran kawasan perumahan oleh pengembang)
g) Penerapan hunian berimbang yang menetapkan pola 6:3:1 yang disesuaikan dengan kondisi luas lahan, tata kota, dan tipe bangunan di setiap daerah.
h) Kondisi keterbatasan lahan, dimana pola LHB tidak hanya bisa dilakukan dalam bentuk perumahan tapak, tetapi juga hunian vertikal.
i) Penerapan sanksi apabila para pelaku/ pengembang tidak mengikuti aturan-aturan yang ada.