PRAHA Romantisme Ibukota Bohemia

Begitu proses check-in di reception desk Hotel Inter-Continental yang berlokasi di jantung kota Praha selesai, saya segera memberi kode pada petugas concierge untuk mengangkut barang bawaan saya ke kamar. Jam di tangan saya sudah menunjukkan angka 5 sore, padahal saya sudah berusaha untuk berangkat dari Berlin sepagi mungkin.

Rasanya, saya sudah tidak sabar untuk segera berkeliling kota Praha. Dan memang saya jadi sedikit tergesa-gesa lantaran saya merasa tidak memiliki banyak waktu lagi untuk bisa menikmati panorama dan keindahan ibukota Republik Ceko ini. Besok siang, saya harus melanjutkan perjalanan ke Budapest – ibukota Hongaria.
Semua ini disebabkan bus Eurolines yang saya tumpangi dari Berlin via Dresden menuju Praha, sempat tertahan di Altenburg -kota perbatasan Jerman dan Republik Ceko- selama 6 jam untuk proses keimigrasian.
Proses pemeriksaan paspor yang dilakukan oleh petugas setempat memang tergolong lamban dan bertele-tele, sehingga terlihat antrean mobil pribadi, bus dan truk pengangkut barang yang sangat panjang di daerah tersebut.
Saya sempat melihat seorang petugas imigrasi memerintahkan serombongan pemuda yang mengendarai mobil BMW berplat nomor Jerman untuk turun dari mobil dan memeriksa seluruh bagian mobil dengan teliti untuk beberapa lama. Pemandangan yang ‘menarik’, gumam saya dalam hati.
Saat tiba giliran pemeriksaan terhadap bus yang saya tumpangi setelah sekian lama menunggu, saya tidak merasa was-was sama sekali karena menurut si sopir bus, biasanya pemeriksaan terhadap penumpang bus tergolong relatif cepat. Lagipula, saya juga melihat bahwa bus-bus lainnya sebelum bus yang saya tumpangi, melaju dengan mulus setelah rata-rata melalui pemeriksaan paling lama 30 menit.
Namun, setelah hampir 1 jam semua paspor milik penumpang dikumpulkan oleh seorang petugas imigrasi (yang kebetulan seorang wanita muda berambut pirang) dan tidak ada tanda-tanda bahwa proses pemeriksaan akan berakhir, barulah timbul perasaan cemas dalam diri saya. Yang lebih seru, setelah hampir 90 menit menunggu, petugas tadi dengan ditemani dua lelaki muda berseragam hijau-hijau, kembali dengan menenteng senapan mesin dan juga membawa seekor anjing pelacak jenis herder.  Seluruh penumpang bus diperintahkan untuk turun, sementara sang anjing pelacak naik ke dalam bus. Para penumpang bus, termasuk saya, cuma bisa pasrah melihat si anjing herder mengacak-acak barang bawaan kami.
Tak puas hanya mengacak-acak isi kabin penumpang, petugas tersebut memerintahkan sopir bus untuk membuka ruang bagasi dan menurunkan seluruh tas milik penumpang untuk diperiksa.
Meski akhirnya pemeriksaan itu berakhir juga tanpa kejadian yang dramatis, tak urung hal itu membuat seluruh penumpang bus uring-uringan, apalagi pada saat kami harus menunggu di luar bus, hujan turun cukup lebat, membuat sebagian besar penumpang basah kuyup berikut barang-barang bawaan yang tergeletak di jalanan.
Namun setidaknya, kekecewaan tersebut sedikit terbayar karena dalam perjalanan Altenburg - Praha, yang jaraknya tak seberapa jauh, saya melihat pemandangan yang cukup ‘indah’ di kiri-kanan jalan.
Sejumlah kios mungil penjual makanan-minuman dan suvenir tampak berjajar di sepanjang jalan yang berbukit-bukit yang mirip jalan Trans-Sumatra yang di kiri-kanannya ditumbuhi pepohonan yang bisa disebut hutan. Namun, bukan hal itu yang membuat mata saya jadi bersemangat melakukan ‘eksplorasi’. Yang membuat jalanan itu justru tampak menarik adalah ‘aksesoris’ yang berada di depan kios-kios, di kiri-kanan jalan tersebut yaitu para wanita muda dengan dandanan menor dan pakaian yang seronok tampak berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan gayanya yang sensual, menggoda para pengemudi kendaraan yang melintas di depannya. Begitu banyaknya jumlah mereka di sepanjang jalan membuat jarak tempuh Altenburg – Praha yang kira-kira 60 menit jadi tak terasa.
Astronomical Clock yang terletak di Old Town Square baru saja berdentang 8 kali saat saya baru saja menyelesaikan makan malam di teras restoran In-Prince New York yang berlokasi di depan menara jam yang dibangun pada permulaan abad ke-12 itu, yang menawarkan paket barbeque sea-food plus white wine seharga 380 Crown (1 Crown = Rp 350), namun langit musim panas di Praha masih tampak terang benderang layaknya jam 4 sore di Surabaya. Serombongan turis Jepang yang telah rela berdiri berlama-lama di depan menara Astronomical Clock untuk menyaksikan pertunjukan super singkat parade boneka yang menari-nari bertepatan dengan dentangan jam sudah melanjutkan perjalanannya. Mungkin saja banyak dari mereka yang kecewa lantaran pertunjukan yang dinanti-nantikan ternyata tak lebih dari sebuah pertunjukan 2 menitan belaka. Jika dibandingkan, atraksi tarian boneka yang dipertontonkan di menara jam serupa di Mariensplatz – Munich, Jerman memang jauh lebih bagus.
Menyusuri jalanan sempit nan berkelok-kelok dan berbatu-batu penuh dengan beragam toko penjual suvenir, kristal bohemia dan juga café serta restoran, seketika saya merasa seakan-akan sedang berada di tengah-tengah kota Venesia di Italia. Dari bangunan-bangunan bergaya medieval di sepanjang jalan yang berkesan tua dan antik serta dari berjubelnya para pelancong di mana-mana, I just thought, this was Venice, not Prague…

Yang membedakan, bahwa di Praha tidak saya temukan kanal-kanal dan juga gondola yang menjadi ciri khas Venesia. Begitu pula dengan bentuk menara The Tyn Church di Old Town Square tampak menjulang tinggi dan berkesan tajam bergaya barok, dibandingkan dengan bentuk kubah kebanyakan bangunan gereja di Italia yang cenderung berupa ‘dome’ setengah lingkaran berwarna hijau.
Genangan air sisa hujan yang turun cukup deras beberapa jam lalu masih tampak di sudut-sudut jalan ketika langkah saya terhenti di sebuah jalan sempit yang penuh oleh lalu-lalang kendaraan dan juga penuh sesak oleh manusia berbagai bangsa. Saya sempat terperangah menyaksikan sebuah bangunan tinggi menjulang yang berkesan begitu kokoh, yang temboknya telah menghitam dimakan zaman, berdiri dengan arogan di seberang jalan dari tempat saya berdiri: Pintu gerbang The Charles Bridge yang terkenal itu, yang juga merupakan salah satu icon terpenting ibukota Bohemia ini.
Rombongan turis Jepang yang tadi saya lihat di daerah Old Town Square terlihat sedang asyik berfoto-ria secara bergantian dengan latar belakang gerbang jembatan yang pernah dipakai sebagai tempat syuting film Mission Impossible yang diperankan oleh Tom Cruise dan John Voight sekitar tahun 1999 yang lalu.
Tanpa membuang waktu, saya segera melangkahkan kaki ke arah mereka dan ikut serta menyaksikan betapa sungguh indah memang pemandangan yang terlihat dari sana.
Sungai Vltava yang membelah kota Praha, yang baru-baru ini sempat mengamuk dan meluap -membuat sebagian besar kota Praha terendam air- pada saat kunjungan saya kali ini tampak ‘jinak-jinak’ saja. Di kiri-kanan gerbang The Charles Bridge, bermacam café dan restoran tampak sibuk dipenuhi pengunjung.
Menyusuri tubuh The Charles Bridge, lagi-lagi mengundang takjub tersendiri. Tak henti-henti saya berdecak kagum dan mengucap syukur pada Tuhan karena diberi kesempatan untuk menyaksikan keindahan salah satu kota yang konon paling romantis di dunia ini.
Sepanjang sisi kiri-kanan badan jembatan batu yang juga telah berwarna menghitam termakan usia ini, berdiri puluhan patung yang adalah tokoh-tokoh keagamaan popular di masa lalu, berselang-seling dengan deretan tiang lampu bergaya klasik-antik. Belum lagi  sejumlah pedagang kaki lima yang rata-rata berjualan lukisan, asesoris maupun aneka suvenir kristal khas bohemia yang menggelar dagangannya di sepanjang badan jembatan berbaur dengan para pemusik dan juga seniman jalanan lainnya, seakan menjadi paduan yang harmonis untuk menghidupkan suasana meriah di sepanjang jembatan yang memang khusus diperuntukkan bagi para pejalan kaki ini.
Suasana tampak ramai, bahkan hiruk pikuk dengan berjubelnya ribuan manusia di atas badan jembatan yang telah dibangun sejak awal abad ke-12 ini, bahkan hingga hari menjelang gelap dan matahari mulai condong ke barat.
Nun jauh di sana, di ujung lain dari The Charles Bridge –sebuah daerah berbukit-bukit yang dikenal sebagai The Castle Area- tampak sebuah bangunan besar berwarna putih, yang menurut dugaan awal saya adalah sebuah istana, tampak mulai terang benderang oleh sinar lampu putih kekuningan yang berkekuatan tinggi.
Hradcany Castle, bangunan berwarna putih tadi, ternyata sebuah kastil yang dahulunya dipakai sebagai monasteré, tampak begitu anggun dan cantik dengan latar belakang langit yang mulai berwarna kemerahan.
Saya terus berjalan menyusuri jembatan yang panjangnya kira-kira 500 meteran itu hingga mencapai pintu gerbang The Charles Bridge lainnya yang sekaligus merupakan pintu masuk menuju The Royal Castle Area of Prague.
Sama persis dengan situasi di Old Town Square yang hiruk pikuk, begitulah situasi di daerah ini. Malah, di daerah ini, jalanan sempit yang terbuat dari susunan bebatuan peninggalan abad pertengahan ini terasa lebih mendaki dan berkelok-kelok. Bank, moneychanger, toko suvenir, restoran bercita rasa internasional serta café bertebaran di mana-mana.
Pandangan saya sempat mengarah pada serombongan orang yang tampak mengacung-acungkan papan besar persegi empat yang mereka bawa sambil berteriak-teriak –yang karena ramainya suasana sekitar- tidak dapat saya dengar dengan jelas. Bahkan ada pula yang ‘mengenakan’ papan besar di bagian depan dan belakang tubuhnya sambil berjalan mondar-mandir. Pikiran saya langsung mengarah pada satu hal yang belakangan popular sekali terjadi di Indonesia: demonstrasi!
Karena penasaran, saya berusaha mendekati rombongan ‘pendemonstran’ tadi yang juga sudah dikerumuni oleh banyak orang lainnya. Nyatanya, lagi-lagi dugaan saya meleset jauh! Ternyata, mereka sedang berusaha keras menjual tiket pertunjukan opera ataupun konser musik klasik menjelang detik-detik terakhir penyelenggaraannya malam itu. Dan tentu saja karena merupakan ‘last minute offer’ maka mereka berani memberikan diskon yang cukup besar. Sayangnya, saat itu saya tidak punya cukup waktu, padahal, rasanya ingin juga sih menikmati tontonan opera di salah satu kota pusat opera dunia ini.
Memang, Praha dikenal sebagai salah satu kota pusat musik klasik dan juga opera, hampir sama dengan Wina - ibukota Austria – yang adalah negara tetangga Republik Ceko. Dan kebanyakan gedung-gedung tempat penyelenggaraan pertunjukan opera dan musik klasik tadi terletak di The Castle area ini.
Langit sudah benar-benar gelap total saat saya meninggalkan The Castle Area kembali menuju The Charles Bridge. Lampu-lampu sudah menyala sementara suasana café dan restoran terlihat semakin menghangat.
Tepat di bawah gerbang The Charles Bridge yang berdiri gagah itu, saya membaca sebuah papan peringatan yang ditulis dalam berbagai bahasa dilengkapi gambar yang intinya menerangkan agar para turis berhati-hati terhadap aksi pencopet. Seperti sudah menjadi ciri khas kota besar di seluruh dunia, peringatan seperti ini adalah hal yang wajar, apalagi di ibukota negara yang pernah selama bertahun-tahun berada di bawah rezim komunisme ini. Berakhirnya era komunisme menjadi kapitalisme pada permulaan tahun 90an membuat banyak penduduk setempat ‘shock’ lantaran modernisasi dan kapitalisme ternyata membuat biaya hidup meningkat tajam, termasuk membanjirnya produk berteknologi mutakhir dan barang-barang konsumsi bermerek terkenal. Jenis-jenis mobil terbaru macam Audi TT, Mercedez Benz SLK 500, Ferrari, Jaguar, dan lain-lain dapat dengan mudah ditemukan berseliweran di jalanan kota Praha. Produk-produk branded macam Louis Vuitton, Christian Dior, Versace dan sebangsanya berlomba-lomba membuka butiknya di pusat kota Praha. Konsekuensinya, bagi banyak warga setempat yang tidak berbekal ilmu maupun pengalaman yang cukup untuk bersaing mendapatkan posisi pekerjaan yang berpenghasilan besar, mereka harus mencari alternatif demi mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhannya. Prostitusi jalanan, penjualan obat terlarang, bahkan menjadi bintang film porno, adalah beberapa dari sekian alternatif. Bahkan yang disebutkan belakangan tadi, saat ini sudah sedemikian populernya, sehingga Praha dikenal sebagai ‘the capital city of the castles’, akhir-akhir ini populer dengan julukan The Capital of Porn Movies khususnya di daerah Eropa Timur, bersaing ketat dengan ibukota Hongaria, Budapest.
Decak kagum kembali keluar dari bibir saya ketika berdiri di atas ‘tubuh’ The Charles Bridge yang suasananya sungguh berbeda dengan saat saya melaluinya beberapa jam yang lalu, saat matahari masih bersinar.
Langit yang hitam pekat dengan taburan cahaya bintang di atas sana seakan turut menambah romantisme yang tercipta di atas jembatan batu tersebut. Para pedagang kaki lima sudah tak tampak lagi. Lampu-lampu di kiri-kanan badan jembatan bersinar kekuningan bagaikan nyala pelita di kegelapan malam, sinar bulan yang malam itu sedang purnama memantul melalui riak air sungai Vltava.
Samar-samar, saya mendengar alunan instrumen musik dimainkan. Ketika saya mendekat ke sumber suara yang ternyata berasal dari permainan biola dua laki-laki setengah baya di tengah jembatan, ternyata di tempat itu sudah bergerombol orang-orang yang juga ingin menikmati romantisme Praha waktu malam di atas The Charles Bridge. Sepintas saya sempat melihat beberapa pasangan muda-mudi berpelukan mesra di sisi kiri-kanan jembatan sambil menikmati alunan ‘Shower me with your love’ yang saat itu dimainkan. Duh… membuat orang iri saja.
Seorang penjual bunga mawar merah tampak berjalan berkeliling dari satu pasangan ke pasangan lainnya menawarkan dagangannya, tak mau melewatkan situasi.
Tanpa terasa, saya berdiri di sana hampir selama satu jam, sampai kedua seniman tadi mengakhiri pertunjukan permainan biola mereka yang sungguh memukau. Hembusan angin malam yang dingin memaksa saya untuk mengakhiri perjalanan saya keliling kota Praha malam itu.
Saat berjalan kembali menuju Hotel Inter-Continental yang letaknya tak jauh dari The Charles Bridge, saya menoleh ke arah Hradcany Castle dan St. Vitus Cathedral nun jauh di sana yang malam itu tampak begitu megah sekaligus anggun bermandikan cahaya. Terlalu indah untuk diungkapkan dengan sekedar kata-kata biasa. Sungguh, it’s more than words can say…